Penelitian
Ragam Hias Makam Sunan Drajat, Ekspresi Estetis Islam Masa Peralihan di Jawa Timur Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun
Dinding candi-candi Hindu dan Buddha di Jawa, sering ditemukan pahatan ragam
hias sulur tumbuhan teratai yang tumbuh dari bonggol atau dari guci bergelung-gelung,
dinamakan ragam hias sulur gelung. Ragam hias ini termasuk salah satu dari motif tertua
milik Hindu yang dinamakan “Padmamūla”. Padmamūla, baik yang distilisasi atau tidak
digambarkan dalam bentuk sulur-sulur teratai yang tumbuh dari akar alami atau dari
bonggol. Tidak hanya di India, di Jawa dan di tempat lain, akar atau bonggol teratai yang
paling umum, digambarkan dalam bentuk permata. Permata ini adalah biji dari bagian
utama tanaman teratai, yaitu “akar” (Skr. padmamūla). Ragam hias sulur gelung
berkaitan dengan konsep kosmogoni Hindu, yaitu proses penciptaan dan pembentangan
alam semesta yang berasal dari benih keemasan. Benih ini diam di atas air dan
merupakan pangkal mula alam semesta, karena benih itu berada di air, maka sulur
gelung, digambarkan tumbuh dari makhluk yang berasosiasi dengan air, seperti kepiting,
ikan, kura-kura, gajah dan lain-lain. Sulur-suluran itu digambarkan bercabang-cabang,
bergelung-gelung dan percabangan itu disejajarkan dengan percabangan terus-menerus
dalam proses kehidupan, dari kelahiran yang satu ke kelahiran yang lain.
Ragam hias ini menjadi lambang kemujuran dan kebahagiaan, ditampilkan
dengan indah, rumit dan mendetail di candi-candi Jawa Tengah. Tampilan ragam hias
sulur gelung kemudian disarikan atau lebih sederhana setelah pindah ke candi-candi di
Jawa Timur. Pada masa Islam awal, eksistensi ragam hias ini tetap bertahan dan lebih
banyak dipahatkan di dinding kayu daripada di batu. Ragam hias ini diterapkan di masjid
dan makam Wali. Rincian elemen bentuknya sedikit berbeda, mungkin para Wali Jawa
memiliki konsep tersendiri mengenai sulur gelung teratai.
Berdasarkan kitab-kitab Purana Hindu, terdapat penjelasan mengenai konsep
pembentangan alam semesta yang diwujudkan dalam bentuk gulungan teratai.
Berdasarkan naskah kitab-kitab lama milik para Wali, terrdapat juga penjelasan
mengenai teratai dengan nama bunga “tunjung”. Penelitian ini menggunakan pendekatan
sejarah seni rupa dan estetika untuk menunjukkan ekspresi estetik Islam masa peralihan
dengan merunut perkembangan bentuk artefak sulur gelung teratai Hindu yang masih
dipertahankan sampai pada masa Islam awal. Pemahaman yang utuh dari hasil penelitian
ini menunjukkan, bahwa karya seni berkaitan erat dengan masyarakat dan budaya yang
berkembang saat itu, yaitu budaya Islam masa peralihan. Urgensi penelitian ini terkait
dengan praktek ornamentasi dan pemaknaan narasi simbolik di balik wujud visualnya.
KT20201266 | PEN/KK/Niz/r/2018 | Ruang Sirkulasi | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - BACA DI TEMPAT |
Tidak tersedia versi lain