Penelitian
Sanggit dan Garap Lakon Tumusing Jangka Wayang Kulit Diponegoro Karya Catur Kuncoro
Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) bekerja sama dengan nDalem Yudonegaran menyelenggarakan Pagelaran Wayang Kulit Diponegoro mengambil lakon "Tumusing Jangka", dengan dalang Catur Kuncoro, dalam rangka memperingati Hari Milad Bendoro Pangeran Haryo (BPII) Diponegoro yang jatuh pada Kamis, 1 1 November 2021, di Ndalem Yudonegaran, Jl. Ibu Ruswo No. 35 Yogyakarta. Organisasi Patra Padi sendiri didirikan pada tanggal I I November 2015 berdasarkan Akta Notaris Rio Kustianto Wironegoro, SH, M.Hum No. 01 Tanggal 6 Januari 2016 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-0015022.AH.01.07 Tahun 2016 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Trah Pangeran Diponegoro. Saat ini Patra Padi menaungi 14 trah putra-putri keturunan BPH Diponegoro. Lakon ini disarikan dari Babad Diponegoro, sebuah biografi fenomenal karya BPH Diponegoro selama menjalani pengasingan di Manado, Sulawesi Utara hingga Makassar, Sulawesi Selatan. Kisah ini terinspirasi dari sebuah peristiwa yaitu ketika Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hageng/GKR Tegalrejo, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I bersama cicit bayi RM Mustahar (nama kecil BPH Diponegoro) sowan kepada Sri Sultan HB I. RM Mustahar adalah putra dari RM Surojo (kelak diangkat menjadi Sri Sultan HB Ill) dan ibu bernama Raden Ayu (R.Ay) Mangkarawati. Sri Sultan HB I berkata bahwa nantinya RM Mustahar akan mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, hingga akan menimbulkan kerugian yang lebih dahsyat dibanding dengan dirinya. Untuk itu, beliau meminta kepada GKR Hageng agar mendidik dan membesarkan RM Mustahar dengan baik. Selang beberapa waktu kemudian, ucapan Sri Sultan HB I terbukti. Sejarawan dari Trinity College, Oxford, Inggris, Peter Brian Ramsey Carey mengungkap Babad Diponegoro ditulis seperti puisi dengan tebal 1.170 halaman folio. Naskah ini diceritakan dari sudut pandang orang ketiga meski sejatinya menceritakan diri seorang Diponegoro. Babad Diponegoro telah mendapatkan penghargaan Badan Kebudayaan Dunia, Unesco sebagai Memory of The World bersama Negarakertagama yang berisi kesaksian Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk di abad ke-14. Penelitian ini benujuan untuk mengungkap dan memberi nilai pada pengetahuan lokal yang tenanam pada praktek seni, merangsang pertukaran pengetahuan antara praktisi seni tradisi dan akademisi, menawarkan pemahaman terutama kepada mahasiswa seni untuk mengimplementasikan konsep tersebut dalam ide-ide kreatif penciptaan seni. Metode penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan multidisiplin.
Tidak tersedia versi lain