Penelitian
Reinterpretasi ornamen singa pada masa Islam Peralihan
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan İslam Demak dipandang sebagai masa İslam Peralihan. Islam sebagai pemegang kekuasaan, kuasa menentukan atau mengganti bentuk-bentuk kesenian lama. Akan tetapi seni ornamen yang diperagakan di makam dan masjid justru mengadopsi kembali ornamen Hindu, misalnya motif kala, gunung bersayap, pohon hayat, teratai dan singa. Khusus ornamen Singa terdapat di kompleks Masjid Mantingan Jepara, di cungkup makam Sunan Sendang Duwur Paciran, di cungkup makam Sunan Drajat Lamongan, di mimbar Masjid Agung Demak dan, di mimbar Masjid Agung Cirebon. Tempat-tempat tersebut didirikan di bawah otoritas para Wali. Hal ini menjadi dilema karena Singa memiliki makna khusus dalam kepercayaan Hindu.
Kala dalam kepercayaan Hindu (India) merupakan kepala Singa dan diletakkan pada tempat terhormat. Tempat tersebut adalah pintu, ceruk atau jendela sebagai lambang perjalanan manusia menuju Tuhan. Bentuk kepala kala merupakan gabungan antara muka hewan dan wajah manusia menyatu, dan dinamakan Kîrttimukha yaitu wajah keagungan. Kîrttimukha ditampilkan dalam rupa Singa (simha-mukha). Singa adalah binatang matahari, keagungan (Yasas; tejas), panji-panji matahari, kepala naga (rahu, tamas), simbol keadilan dan kekuasaan, penghancur iblis. Kepala raksasa tanpa rahang bawah di Jawa Tengah disebut kala, sedangkan kala lengkap dengan rahang bawah di Jawa Timur disebut banaspati atau raja hutan. Banaspati di Yogyakarta dinamakan kemamang yang diyakini mampu menelan dan menghilangkan niat jahat. Singa di kompleks Candi Lara Jonggrang merupakan simbol penjaga dari pengaruh-pengaruh jahat. Di Candi Borobudur Singa ditempatkan sebagai penjaga maşuk candi dan sebagai simbol sang Buddha. Singa mengaum menjadi simbol sang Buddha ketika pertama kali menyampaikan ajarannya.
Berbagai macam makna Singa di ataş, menjadi sulit untuk menentukan apakah ornamen Singa di makam dan masjid sebagai lambang keagungan, penghancur iblis, penangkal pengaruh jahat atau apakah Singa tersebut benar-benar singa? Asumsi ini berdasarkan kenyataan bahwa ada kejanggalan pada penggambaran kepala singa, yaitu memiliki telinga panjang mirip tanduk. Omamen Singa bertanduk sulit ditemukan pada era sebelum Islam. Mungkin, ornamen Singa pada masa İslam Peralihan diubah objeknya yang mirip binatang singa. Oleh karena itü tujuan penelitian ini adalah membangun model teoritik untuk mengungkap makna dan konsep penciptaan ornamen (mirip) Singa pada masa Islam Peralihan.
Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan sejarah dan estetika. Pendekatan sejarah digunakan untuk mengkaji artefak ornamen Singa sebagai representasi sejarah. Objek-objek berupa artefak merupakan bahan amatan yang dapat digunakan untuk melihat kebenaran sejarah, menyangkut apa yang statis-deskriptif dan apa yang dinamis-interpretatif. Pendekatan estetika digunakan untuk mengkaji prinsip-prinsip organisasi visual ornamen, perubahan bentuk dan kekhususan gaya seni. Adapun pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan, yaiiu observasi, dokumentasi,
dan wawancara.
Observasi dilakukan dengan mencermati dan mendokumentasikan keberadaan ornamen Singa di tempat-tempat tersebut di ataş. Analisis data dan pemaparan hasil analisis dilakukan setelah data yang terjaring diklasifikasikan. Keutuhan artefak sebagai data visual sangat penting untuk dianalisis perkembangan bentuk dan kekhususan gaya ungkap. Data visual berupa artefak dalam penelitian ini memiliki nilai empiris yang utama. Target akhir TKT adalah tiga, menghasilkan teori estetika hasil analisis menyeluruh mengenai kekhususan konsep penciptaan, gaya dan makna ornamen Singa pada masa Islam Peralihan yang dipublikasikan dalam jurnal Patrawidya (nasional terakreditasi) dan prosiding seminar nasional.
Tidak tersedia versi lain