Penelitian
Drama Politik dalam Ingatan dan Visualisasi Seorang Pelukis Kajian Kritis terhadap "Trilogi" lukisan karya Djokopekik
Tragedi politik pada 1965 yang dikenal dengan Gerakan 30 September/Partal Komunis Indonesia (C 30 S/PKI) yang berujung pada sejarah gelap bangsa indonesia. masih menyisakan pengalaman traumatis pada sebagian warga bangsa yang terseret pada peristiwa itu. Tak terkecuali kalangan seniman sent rupa, seni pertunjukan, astra, dan lainnya banyak yang terhempas oleh drama politik itu, antara lain karena keterlibatannya di Lembaga Kebudayaan Rakia (LEKRA) sebuah organisasi yang menghimpun pemikiran aktivitas seniman di bawah naungan Partai Komunias Indonesia (PKI)
Pasca 1965, pembasmian PKI dan anasir-anasirnya melibas semua orang yang bersinggungan, termasuk yang berada dalam LEKRA dan organisasi di bawahnya Mereka diburu ditangkap dipenjara (dari penjara ke penjara), salah seorang di antaranya adalah pelukis Djokopekik, yang pernah aktif di Sanggar Bumi Tarung sebuah sanggar seni rupa. Akibatnya, ia berupaya bersembunyi, harus tari dari kota Yogyakarta, ke Jakarta, dan akhirnya tertangkap, kemudian dipenjara di Benteng Vredeburg dan Wirogunan
Diokopekik merupakan salah seorang pelukis yang selamat termasuk yang bertahan dari represi pemerintahan Orde Baru dan bahkan menuai "sukses" setelah karya-karya dibahas secara mendalam oleh peneliti cum sejarawan Astri Wright, dan kemudian dipamerkan pada Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS 1990/1991), yang dikuratori oleh Joseph Fisher dan Astri Wright (ko-kurator) serta kurator dalam negeri Soedarso Sp. Sukses yang dimaksudkan adalah Djokopekik terus mendapatkan apresiasi, karya-karyanya diserap pasar, dikoleksi, dan dengan demikian mampu terus melukis
Perhatian Djokopekik pada tema tema yang menggerakkan kepelukisannya tidak bergeser, yakni persoalan kemanusiaan dan keadilan. Tiga karya (Trilogi yang menyimpan narasi panjang terkait dengan episode dramatik terkait bangsa Indonesia dan dirinya adalah Lintang Kemukus (2003), Sirkus September (2016) dan Indonesia Berburu Celeng (2009) yang menjadi fokus penelitian ini. Karya-karya semacam ini dapat dimaknai sebagai penyembuhan (healing) dart trauma kekerasan politik rezim Orde Baru Lukisan tersebut menjadi objek material penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kajian budaya dan media, utamanya kajian kritis ekonomi politik Penelitian ini mengimplementasikan kajian multi disiplin sekaligus multi metode.
Tidak tersedia versi lain