Tugas Akhir
Pembentukan Selera Musik Dangdut Remaja Kelas Menengah-Atas Perkotaan Di Yogyakarta Dalam Perspektif Pierre Bourdieu
Musik dangdut sering mendapatkan cap sebagai musik kampungan dan selera kelas menengah ke bawah karena mengacu pada pertunjukkan musik dangdut di lapangan yang identik dengan tindakan tak senonoh. Beberapa usaha telah dilakukan agar musik dangdut mendapatkan tempat di kalangan kelas menengah-atas. Namun, khususnya remaja tetap tidak dapat menikmati musik dangdut sebagai musik mereka. Setelah sekitar 2014 terjadi fenomena yang cukup menarik, yaitu musik dangdut menjadi tren remaja, bahkan diminati oleh remaja kelas menengah-atas. Diduga telah terjadi perubahan selera musik pada remaja kelas menengah-atas, tetapi bagaimana terbentuknya selera musik dangdut sebagai selera musik remaja kelas menengah-atas belum terjawab sampai saat ini. Penelitian ini bermaksud untuk menangkap bagaimana selera musik terhadap dangdut pada remaja kelas menengah-atas perkotaan di Yogyakarta terbentuk, faktor apa saja yang membentuknya, dan mengapa mereka memilih musik dangdut sebagai musik mereka. Penelitian ini menggunakan studi kasus terhadap sembilan remaja kelas menengah-atas perkotaan di Yogyakarta dengan menggunakan pendekatan konsep habitus dan selera dari Pierre Bourdieu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tidak terjadi perubahan selera musik pada remaja. Musik dangdut dapat terbentuk sebagai selera mereka karena habitus kelas menengah-atas menciptakan standar selera pada musik sebagai objek budaya yang baik berdasarkan persepsi kelas menengah-atas, yaitu dengan mempertimbangkan “modernitas” dan “kompleksitas” pada objek budaya musik. Selera tersebut dapat tertanam melalui pengajaran dari lingkungan dan aktivitas aktor sebagai subjek yang membentuk realitas sosial mereka. Musik dangdut terbukti memiliki nilai sebagai objek budaya yang sah bagi selera mereka.
Tidak tersedia versi lain