Buku Teks
Seni pertunjukan Indonesia pasca orde baru
"Ariel Heryanto:..Mengapa Orde Baru masih harus ada dalam kerangka analisis kita? Mengapa kita tidak bisa melakukan yang lebih baik selain menambahkan 'pasca' untuk membicarakan yang kekinian? Saya sangat menanti-nanti masa di mana kita memutuskan bahwa Orde Baru sudah berakhir dan hanya merupakan suatu tahap dalam rentangan sejarahyang acak dan lebar. Dan belum tentu menjadi masa yang paling menentukan... Chua Bang Huat:...Segaia upaya dalam menghasilkan festival-festival lokal dan acara-acara budaya lain merupakan cara untuk menghidupkan lagi sesuatu yang selama ini ditekan tidak hanya oleh Orde Baru akan tetapi juga ditutupi oleh wajah globalisasi. Saat ini, jika para akademisi mendengar kata 'lokal', secara naluriah akan bereaksi melawannya, menolak pesan esensi yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi merayakan yang lokal tidak jarang merupakan tanggapan strategis terhadap globalisasi, yang dilakukan oleh orang-orang yang kebetulan berada dalam ruang dan waktu yang sama... Denise Vamey : Salah satu kegelisahan yang disebutkan dalam beberapa tulisan di sin! Ialah kegelisahan akan hilangnya musuh bersama dan krisis teater politik. Ide bahwa ketiadaan musuh bersama tersebut akan membuka suatu ruang kekosongan dalam produksi budaya itu senada dengan sentimen-sentimen yang dilontarkan saat reunifikasi Jerman tahun 1989. Dan ini sangat terasa sekali di Berlin. Teater-teater Jerman Barat dan Timur, mendadak dalam semalam, tidak lagi dipisahkan oleh musuh bersama 'yang lain' (the Other) yang berada di sisi lain dari bumi...
"
Tidak tersedia versi lain