Penelitian
Mengungkap Para Dekoratif dalam Upaya Pemetaan, Inventarisasi dan Pengembangan Seni Ornamen Berbasis Kearifan Lokal dalam Era Industri Kreatif
Penelitian ini mengkaji perkembangan transformasi bentuk dan makna ragam hias sejak Zaman Prasejarah, Zaman Hindu-Budha hingga Zaman Islam di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Untuk memaknai berbagai ragam hias, kajian ini menggunakan teori semiotika. Objek penelitian berupa patung, pahat, ukiran, arca, dan relief, tetapi istilah-istilah tersebut semuanya tumpang tindih. Seni pahat, mengacu pada objek patung, atau arca yang mengarah pada bentuk fisik dewa sebagai objek pemujaan. Lingga sebagai objek pemujaan terkait dengan representasi simbolik organ laki-laki dalam Hinduisme Dewa Siwa, menjadi tertutup dengan istilah ini. Relief juga tidak semuanya tiga dimensi. Istilah ukiran hanya mencakup objek yang dibentuk dengan teknik ukir saja, tidak termasuk seni pengecoran perunggu. Definisi patung juga terbatas, karena tidak termasuk relief, dan hiasan pahat datar. Istilah patung juga tidak dapat berbicara banyak ketika membahas estetika kesenian Islam yang simbolik nonrepresentatif.
Hiasan artefak prasejarah memiliki arti yang penting, bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan bentuknya. Seni pahat relief dan ukiran candi di samping memiliki makna religius juga berfungsi untuk memperindah dinding candi. Patung, arca-arca dewa juga memiliki laksana yang diukir dengan sangat indah. Kala meskipun menakutkan juga rapi menempel di atas pintu masuk candi penuh hiasan dekoratif, sehingga istilah ragam hias cukup cair untuk membahas semua hasil kesenian Indonesia kuno tersebut.
Ragam hias pengaruh Hindu - Budha menemukan bentuk ekspresinya di Jawa dan Bali, sedangkan seni Islam berkembang di daerah kekuasaan raja Islam di Sumatera, Jawa, dan Madura. Seni Islam dibentuk dengan mengadopsi tradisi seni Indonesia Hindu yang disesuaikan dengan kebudayaan Islam pada waktu itu. Kesenian Islam mendorong semakin suburnya teknik penggayaan atau stilasi, dengan menghindari penggambaran objek secara realistik. Penggambaran makhluk hidup disamarkan, digayakan, bahkan diabstraksikan dalam pola dekoratif ragam hias. Objek dalam dunia asli dihadirkan dengan cara nonrepresentatif, bentuk realistik dikesampingkan. Langgam seperti ini merupakan kekayaan seni Indonesia, yang dapat diandalkan dan menjadi modal kepribadian jati diri untuk mencari jalan berkesenian dengan tidak meniru kesenian Eropa secara bulat. Kekayaan ragam hias, bentuk dan maknanya menjadi garda depan untuk mencari ciri khas bentuk kesenian Indonesia. Stilasi jika dimaknai sebagai pengalihan atau pengganti, maka cara ini sudah dilakukan sejak masa Hindu dengan paradigma “apa saja yang mempunyai persamaan sifat dianggap sama pula dalam hakikatnya”.
Hasil-hasil kesenian yang mendapat pengaruh kebudayaan Hindu Budha dan Islam dianggap lebih tinggi mutunya. Kenyataannya kualitas estetik karya seni tidak dapat diukur dari institusi yang mendukungnya, baik Hindu, Budha, maupun Islam. Terkadang kesenian primitif lebih terasa jiwa kethoknya, lebih menggetarkan dibanding kesenian kemudian yang lebih mementingkan kehalusan hiasan.
Sebisa mungkin transformasi bentuk ragam hias sejak prasejarah, pengaruh Hindu sampai era Madya dapat digambarkan dengan media fotografi dan gambar tangan. Gambar tangan kadang-kadang dapat menghadirkan ilustrasi yang lebih baik dibanding dengan citra fotografi. Dengan dua cara ini khazanah seni ragam hias Indonesia yang seperti “bunga rampai” ini dihimpun, dan dapat dimanfaatkan secara luas. Untuk mendapat gambaran yang agak terang dari perubahan yang naik turun itu, mau tidak mau harus menengok kembali lembar sejarah, oleh karena seni ragam hias berhubungan dengan perjalanan kebudayaan dan lain-lain.
Tidak tersedia versi lain